Kesenian Emblek, Kuda Lumping Khas Wonosobo Asri

Emblek, Kesenian Khas Wonosobo, Bagaimana Nasibmu Kini?

Sebenarnya kesenian kuda lumping atau kuda kepang dapat ditemukan hampir diseantero Jawa. Kesenian jenis ini, menari dengan menggunakan kuda kepang, banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dulu, dikampung saya di Kecamatan kertek-Wonosobo, kesenian ini pernah mencapai puncak kejayaan. Dimanapun kesenian ini "ditanggap" oleh mereka yang punya "gawe" atau punya hajatan maka pengunjungnya bisa dipastikan membludak. Kesenian kuda lumping ini kalau di Kertek dan mungkin juga ditempat lain dikenal dengan nama kerennya yaitu "Emblek". Emblek ini juga bisa ditemukan di Banjarnegara, Banyumas, Purworejo dengan nama khas daerah masing-masing. Sementara di Jawa Timur bisa juga ditemukan di Kabupaten Ponorogo yang juga terkenal dengan kesenian Reognya.

Emblek
Darimana Sebenarnya Asal Usul Emblek atau Kuda Lumping Ini?

Hingga hari ini, penulis belum menemukan catatan resmi mengenai asal-usul emblek. Yang ada hanyalah sejarah dari mulut kemulut yang kebenarannya juga susah dibuktikan. Berikut salah satu cerita asal usul kesenian kuda lumping:
Kuda Lumping atau Emblek atau Jatilan yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda
Bagaimana kebenaran cerita tersebut diatas? Selama belum ditemukan bukti tertulis otentik maka sejarah diatas hanya sebatas cerita rakyat yang melengkapi dan memperkaya cerita-cerita rakyat lainnya.

Emblek memang kesenian rakyat yang sudah terkesan jadul alias kuno dan nampaknya sudah mulai redup dimakan jaman seiring dengan semakin berkurangnya generasi penerus serta paguyuban-paguyuban emblek. Jikapun ada peguyuban yang masih bertahan itupun dengan banyak beban permasalahan, terutama masalah pendanaan. Tanpa ada yang "nanggap" maka berarti penghasilan peguyuban emblek tersebut nol rupiah, lantas bagaimana dengan biaya hidup para anggotanya?


Kesenian ini hanya kadang-kadang muncul saat ada festival atau lomba kesenian yang kadang diselenggarakan pemerintah daerah seperti di Dieng beberapa waktu yang lalu. Sementara untuk menemukan orang hajatan yang menggelar pertunjukan emblek sudah sangat susah ditemukan. Mungkin kita hanya akan bisa menemukan pertunjukan emblek hanya pada saat perayaan kemerdekaan RI dan pesta rakyat.

Unsur Mistis Pada Kesenian Emblek
Ada satu hal yang sangat susah dipisahkan dengan kesenian yang satu ini dan inilah sebenarnya dulu yang sering ditunggu penonton termasuk penulis yang saat itu masih anak-anak.

Tarian Emblek - Kebo Giro
Penari "Mendem" atau Kesurupan. Setelah menari beberapa saat maka tiba-tiba akan ada saja yang terlihat kejang dan menari dengan semakin kencang dan pandangan mata yang kosong tetapi tajam. Kondisi inilah yang kalau menurut istilah anak-anak waktu itu penarinya sudah "mendem" alias kesurupan. Banyak kejadian lucu dan juga sedikit seram terkait dengan penari yang mendem tersebut seperti memakan beling atau pecahan kaca, memakan atau mengupas kelapa tanpa bantuan pisau dan hanya menggunakan gigi, atraksi kekebalan dengan golok dan badan dipecuti oleh pawang kuda lumping tanpa merasakan sakit dan lain-lain. Kondisi seperti inilah yang membuat kesenian emblek tidak terlepas dari unsur mistis dan kejawen. Apalagi sebelum menggelar pertunjukan biasanya dilakukan ritual-ritual tertentu oleh si pawang kuda lumping yang terkadang bisa menyerempet syirik karena meminta pertolongan dengan bangsa halus atau bangsa jin.

Dan untuk penonton juga harus hati-hati karena konon kondisi mendem atau kesurupan ini bisa "menular" kesiapa saja termasuk menular ke penonton dan memang sering terjadi tiba-tiba dari kalangan penonton ada yang ikut menari tidak karuan dan katanya dia ikut terseret kesurupan penari emblek. Kebenarannya seperti apa, penulis juga tidak tahu karena selama menonton emblek penulis belum pernah ikut kesurupan..he..he.


Emblek sepertinya memang tinggal menunggu waktu untuk tutup buku dan masuk museum menjadi sejarah dalam memori penulis seperti halnya pertunjukan ketoprak kelililng yang dulu dikertek sering manggung di Tobong istilahnya dan saat ini sudah benar-benar punah. Kesenian tradisional, tidak hanya emblek, memang sudah banyak yang tinggal nama tergerus dengan kemajuan teknologi dengan menjamurnya Smartphone, Gadget, atau Hp pintar, Tablet dan lain-lain dan tentunya menjamurnya stasiun TV yang menyediakan hiburan gratis tanpa harus pergi kemana-mana.


Blog, Updated at: 18:56:00