Inilah Hak Binatang Menurut Syariat Islam

Hak Binatang Dimata Agama Islam
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh maka baguskanlah dalam membunuh dan bila menyembelih maka baguskanlah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kamu menajamkan belatinya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati.” (HR. Muslim)

Di antara nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabiyurrahmah, yaitu Nabi yang membawa kasih sayang. Rahmat beliau tentu tidak khusus untuk manusia bahkan untuk alam semesta, termasuk binatang.

Hak-hak binatang yang harus diperhatikan

1. Memerhatikan pemberian makanan

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Bila kamu melakukan perjalanan di tanah subur, berilah binatang (tunggangan) itu haknya. Bila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus maka percepatlah perjalanan.” (HR. Al-Bazzar, lihat Ash-Shahihah no. 1357)

Hadits ini memberi petunjuk bila seseorang melakukan perjalanan dengan mengendarai binatang serta melewati tanah yang subur dan banyak rumputnya agar memberi hak hewan dari rumput dan tetumbuhan yang ada di tempat itu. Namun bila melewati tempat yang tandus sementara dia tidak membawa pakan binatang tunggangannya serta tidak menemukan pakan di jalan, hendaknya dia mempercepat perjalanan agar dia sampai tujuan sebelum binatang itu kelelahan.

2. Tidak memeras tenaga binatang secara berlebihan

Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk pada suatu kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka ia datang dan duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka datang (pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (memperlakukan) binatang ini yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikanmu memilikinya?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud dll, Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 20)

3. Menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih

Pisau yang tumpul dan tidak tajam akan sulit digunakan untuk menyembelih sehingga binatang yang disembelih tersiksa karenanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh maka baguskanlah dalam membunuh dan bila menyembelih maka baguskanlah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kamu menajamkan belatinya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati.” (HR. Muslim)

Namun janganlah seorang mengasah pisau/belatinya di hadapan binatang yang akan disembelihnya. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menegur orang yang melakukan demikian dengan sabdanya: “Mengapa kamu tidak mengasah sebelum ini?! Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali?! (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 24)

4. Tidak memberi cap dengan besi yang dipanaskan pada wajah binatang

Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seekor keledai yang dicap pada wajahnya, maka beliau mengatakan:

“Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat orang yang memberinya cap.” (HR. Muslim)

Namun boleh memberi cap binatang pada selain wajah.

5. Tidak menjadikan binatang yang hidup sebagai sasaran dalam latihan memanah dan yang semisalnya.

Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang padanya ada ruh sebagai sasaran untuk dilempar.” (Muttafaqun ‘alaih)

Inilah sekelumit dari sekian banyak petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu setelah ini, apakah masih ada orang-orang non-muslim yang mengatakan bahwa Islam menzalimi binatang?! Sungguh keji dan amat besar kedustaan yang keluar dari mulut-mulut mereka!

Praktik salaf ulama ini

Tidak bisa dipungkiri bahwa salaf (generasi awal) umat ini adalah orang-orang yang terdepan dalam segala kebaikan serta paling jauh dari setiap kenistaan dan kezaliman. Ilmu yang mereka serap tidak sekadar kliping pengetahuan, tetapi dipraktikkan di alam nyata. Adalah sahabat Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengetahui ada seorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut, maka Umar sebagai pemguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Beliau radhiyallahu ‘anhu menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d).

Adalah sahabat Abud Darda radhiyallahu ‘anhu dahulu punya unta yang dipangil Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjammya, maka ia berpesan untuk tidak membebaninya kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta) karena unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu. Maka ketika kematian telah datang menjemput Abud Darda radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku, karena aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.” (Lihat Ash-Shahihah, 1/67-59)

Penjelasan ulama fiqih

Bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan contoh mulia dari salaf umat ini senantiasa membekas di benak para ulama. Oleh karenanya, ulama fiqih telah memberikan penjelasan hukum seputar menyayangi binatang, sehingga perkara ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena, seseorang tidak bisa berbuat kebajikan yang besar bila yang kecil saja diabaikan.

Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah dalam kitabnya ‘Al-Adab Asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):

“Naikilah binatang itu dalam keadaan baik dan biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’)

Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan kendaraan itu berdiri seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun larangan dari berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada keperluan. Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di padang Arafah ketika haji maka tidak mengapa. (Faidhul Qadir 1/611)

Mar’i Al-Hanbali berkata: “Wajib atas pemilik binatang untuk memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya maka dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Bila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan untuk mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk dimakan.”

Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung di rumah seseorang, maka wajib atas pemilik rumah itu untuk menafkahi kucing itu karena ia tidak mampu pergi.

Ibnu As-Subki rahimahullah berkata ketika menyebutkan tukang bangunan untuk tidak menembok dengan tanah dan semisalnya: “Termasuk kewajiban tukang bangunan untuk tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya apakah padanya ada binatang atau tidak. Karena kami sering melihat kebanyakan pekerja bangunan itu terburu-buru menembok, padahal terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya. Dia membunuh binatang tadi dan memasukkannya ke dalam lumpur tembok. Dengan ini ia telah berkhianat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sisi membunuh binatang ini.”

Asy-Syaikh Abu Ali bin Ar-Rahhal berkata: “Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah bila tidak mengandung unsur menyiksa, membikin lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (bila) berada di kurungan, sebagiannya mematuk sebagiam yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.” (Lihat Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj hal. 32-33 karya Dr. Abdul Aziz As-Sadhan)

Coba cermati ucapan Abu Ali bin Ar-Rahhal tadi, lalu bagaimana dengan orang yang sengaja mengadu ayam jantan, kambing, dan semisalnya?! Apakah tidak lebih haram?!

Binatang-binatang yang boleh dibunuh

Keharusan menyayangi binatang bukan berarti kita tidak boleh menyembelih binatang yang halal untuk dimakan. Karena agama Islam berada di tengah-tengah, antara mereka yang mengharamkan seluruh daging binatang dan di antara orang-orang yang menghalalkan memakan binatang apapun, meskipun babi. Demikian pula dibolehkan membunuh binatang yang jahat dan banyak mengganggu orang, merusak tanaman dan memakan ternak, seperti burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, anjing hitam, dan semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Lima binatang yang semuanya jahat, (boleh) dibunuh di tanah haram (suci) yaitu: burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus dan anjing yang suka melukai.” (HR. Al-Bukhari no. 1829)

Masih banyak lagi jenis binatang yang boleh dibunuh karena mudharat yang muncul darinya. Namun membunuhnya pun tetap dengan cara yang baik. Tidak boleh dengan dibakar dengan api, dicincang, atau diikat hingga mati.

Wallahu a’lam.

Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.


Blog, Updated at: 23:51:00