Gencarnya rencana dan realisasi impor daging kerbau sebanyak 100.000 ton tahun 2018 serta ditambah dengan rencana impor daging sapi dari Brazil disikapi dengan bermacam kekhawatiran oleh pelaku peternakan. Tidak hanya peternak lokal yang mulai mengeluh akibat sepinya pasar sapi dari pembeli, peternak besar skala perusahaan juga sudah menelan pil yang sangat pahit pada tahun 2017.
Tahun lalu hampir semua perusahaan penggemukan menderita kerugian yang tidak sedikit. Selain harga beli sapi bakalan impor yang mahal akibat lemahnya nilai tukar rupiah juga karena pengetatan harga jual yang diawasi pemerintah sehingga banyak feedlotter yang mau tidak mau harus jual rugi karena semakin lama sapinya ditahan dikandang kerugian akan semakin besar.
Nafsu pemerintah untuk secepatnya membuat harga daging turun ke angka 80 ribu rupiah per kg menjadikan impor daging kerbau India seperti menjadi suatu keharusan. Memang dengan murahnya harga daging kerbau di India yang hanya berkisar 40 ribuan per kg maka pemerintah bisa menjual daging tersebut ke pedagang dengan harga 60 - 65 ribu per kg dan pedagang daging diharuskan menjual dipasaran dengan harga 80 ribu per kg.
Untuk daerah tertentu peredaran daging kerbau india ini sudah berhasil "mematikan" usaha RPH. Banyak RPH yang turun drastis jumlah potong sapinya sehingga tidak mampu menutupi biaya operasional hariannya.
Peternak-peternak di sentra sapi lokal seperti di Jawa Timur misalnya sudah mulai mengeluhkan sepinya pembeli sapi dari luar daerah sehingga harga sapi cenderung terus turun.
Saat harga daging bisa benar-benar turun menjadi 80 ribu per kg tentu akan disambut baik oleh konsumen daging tetapi bagaimana dengan nasib para peternak sapi lokal?
Tentunya efek negatif bagi peternak lokal adalah harga sapi akan anjlok drastis dan jika ini tidak diantisipasi oleh pemerintah maka gairah beternak para peternak sapi lokal bisa hilang dan target swasembada daging akan terus menjadi mimpi.
Seyogyanya pemerintah sudah mulai memikirkan bagaimana caranya agar harga bibit sapi yang berupa pedet bisa murah dan juga harga pakan bisa murah. Jika kedua hal ini bisa disediakan atau disubsidi pemerintah maka saat harga ternak benar-benar harus turun peternak lokal tidak akan mengalami kerugian dan gairah beternak sapi bisa terus terjaga.
Gebrakan pemerintah dalam program Upsus SIWAB patut didukung oleh seluruh pelaku peternakan. Dengan pengetatan dan pengawasan pemotongan sapi betina produktif dan program IB gratis dimana-mana maka jika program ini sukses akan tersedia banyak sekali bibit sapi atau pedet yang beredar dipasaran. Dengan suplai yang melimpah maka harga pedet akan turun sehingga modal awal peternak juga akan lebih kecil.
Hal berikutnya adalah ketersediaan pakan dan sarana peternakan seperti obat-obatan, vitamin dan lainnya. Pemerintah wajib menjaga ketersediaan pakan ternak yang murah atau terjangkau peternak lokal bahkan kalau perlu harga pakan disubsidi lebih dahulu agar biaya pakan bisa ditekan serendah-rendahnya.
Saat ini memang harga pakan dan harga pedet atau sapi bakalan yang mahal menjadikan biaya produksi peternak kecil menjadi tidak efisien sehingga saat harga sapi jatuh mereka akan sangat terpukul dan menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Saat harga bibit sapi atau pedet murah dan biaya pakan murah maka harga sapi murah yang berimbas pada turunnya harga daging bisa menjadi kenyataan. Hal ini tentunya tidak mungkin terjadi dengan secepat kilat, tetapi melalui tahapan-tahapan yang pemerintah wajib hadir didalamnya.
Harga daging sapi turun memang penting bagi konsumen mengingat harga daging di Indoensia termasuk paling tinggi, import untuk menjaga harga daging agar tidak melonjak terutama menjelang hari raya juga penting tetapi kelangsungan hidup peternakan rakyat yang merupakan hajat hidup orang banyak di pedesaan tentunya harus lebih diprioritaskan dan lebih dipentingkan lagi oleh pemerintah. Dengan kata lain ketiga hal tersebut harus berjalan beriringan dan bertahap sampai tercapai target harga daging 80 ribu per kg tanpa merugikan peternak sapi lokal atau peternak kecil.