Bulan ini, Oktober 2015 banyak sekali jagal yang mulai berkeluh kesah. Keluhan mereka terutama karena harga sapi siap potong yang demikian mahal. Dari mulai hari raya Idul Qurban harga sapi sudah merayap naik dan sampai hari ini tetap bertahan diharga tinggi.
Indikasi naiknya harga sapi lokal dipasaran pasti ada pemicunya. Yang paling mudah jika kita mengikuti hukum suplly and demand maka apabila supply tetap atau berkurang sementara permintaan bertambah tinggi maka akan berimbas pada naiknya harga. Dan hukum ini adalah hukum wajar dalam tataniaga apa saja tidak terkecuali ternak sapi.
Blundernya kebijakan pemerintah mengurangi impor sapi dari Australia secara drastis setelah hari raya Idul Fitri menjadi pemicu utama "kekacauan" harga sapi. Harga sapi BX Impor yang tadinya adem ayem saja bermain diharga Rp 35.000 - 36.000 /kg berat hidup, tiba-tiba saja naik drastis sampai angka Rp 41.000/kg hidup. Fenomena ini didorong oleh kepanikan feedlotter karena tidak mendapat supply bakalan yang mencukupi akibat dikuranginya secara drastis kuota impor sapi. Bayangkan lebih 200 ribu ekor yang dikurangai oleh pemerintah dengan berbagai alasan. Pada kuartal sebelum Idul Fitri kran import sapi BX dibuka dengan jumlah sekitar 250 ribu ekor, dan secara tiba-tiba pada kuartal berikutnya kuota impor langsung dipangkas menjadi 50 ribu ekor.
Coba andaikata kita adalah pelaku usaha yang sudah menginvestasikan biaya, waktu dan tenaga untuk membesarkan feedlot agar populasinya bisa maksimal tiba-tiba tidak ada supply bakalan untuk mengisi kandangnya? Pasti hal yang pertama dilakukan adalah mengerem penjualan alias menahan sapi agar kandang tidak melompong. Cara paling mudah menahan barang adalah dengan menaikkan harga sampai jagal tidak mampu beli lagi karena jika nekad beli maka angka kerugian besar menanti di depan mata.
Pengusaha / feedlotter mulai memutar otak untuk mengisi kandangnya yang dalam tiga bulan ke depan hanya akan mendapat jatah sapi import ala kadarnya. Mulai mereka kembali melirik sapi lokal di pasar hewan. Pembelian besar-besaran terhadap bakalan sapi lokal dipasar hewan mulai dilakukan oleh para pengusaha yang memang memiliki modal besar. Imbas yang timbul adalah harga sapi lokal bergejolak naik secara signifikan. Secara sederhana dan dalam jangka pendek kenaikkan harga sapi lokal akan sangat menguntungkan petani/peternak, tetapi dalam jangka panjang bisa merugikan karena terlalu tingginya harga sapi menjadikan harga daging juga akan melonjak yang berakibat turunnya daya beli masyarakat terhadap daging sehingga industri persapian ini makin lama akan makin sepi jika kondisi ini terus berlanjut.
Saat ini saja sudah banyak jagal di RPH yang mengurangi jumlah potongnya sampai separonya atau 50% sebagai akibat terlalu mahalnya harga sapi lokal dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap daging sapi. Hal ini juga diperparah dengan turunnya harga daging ayam sehingga konsumen daging sapi beralih menjadi pembeli daging ayam. Jadi semakin lengkaplah faktor-faktor yang membuat lesu bisnis sapi saat ini.
Kondisi ini tentunya akan berpengaruh negatif terhadap rencana swasembada daging, karena jika iklim usaha sapi lesu, peternak malas memelihara sapi karena susah menjualnya karena jika dijual murah akan rugi sementara dijual mahal tidak ada yang beli karena rendahnya demand. Jika petani/peternak banyak yang beralih profesi sebagai akibat kurang menariknya iklim usaha sapi maka rencana pemerintah untuk swasembada daging akan semakin "jauh" dan sulit direalisasikan.
Pengusaha, Peternak, Jagal, Penjual daging hanya butuh kestabilan harga, tidak terlalu mahal/tinggi tetapi juga tidak terlalu rendah/murah, Kestabilan pasokan baik dari sapi import maupun sapi lokal dan yang terpenting "ketepatan" pemerintah dalam memperhitungkan kebutuhan sapi import tiap kuartal sehingga kestabilan suply - demand bisa dijaga.
Seperti paparan diatas, jangan sampai terjadi lagi pemerintah melakukan kebijakan yang ekstrim seperti contoh habis menggelontor Kuota import kemudian tiba-tiba memangkasnya secara drastis. Bermain cantik dengan selalu bertahap dalam menaikkan dan menurunkan kuota import sapi BX Australia sesuai kebutuhan adalah sesuatu yang wajib dilakukan karena ini membuktikan bahwa pemerintah atau Dinas terkait dalam hal ini Dirjen Peternakan memiliki data yang valid dan akurat akan kebutuhan daging sapi tiap kuartalnya.
Memang semua yang dilakukan secara "terlalu" akan kurang baik akibatnya. Termasuk saat pemerintah "memainkan" kuota import, terlalu sedikit bikin masalah, terlalu banyak juga menambah masalah, jadi lebih baik bermain yang sedang-sedang saja.
Pertanyaannya: Kapan Swasembada daging akan bisa dicapai? Masih butuh jalan yang sangat panjang dan berat selama tarik ulur kepentingan masih "menggelendoti" industri per"sapi"an nasional.